- Assalamu’alaikum Warrahmatulloh Wabarokatuh
Hai Shobat ceria😇😇 dimanapun kalian berada. Apa kabar semua? Semoga shobat ceria beserta keluarga senantiasa dalam lindungan Alloh SWT. Aamiin. 😀😀😀
Mari sebelum kita mulai pembelajaran kali ini, kita mulai dengan berdoa terlebih dahulu kemudian murojaah hafalan Surat Al Qoriah
Malu/ Al haya'
Rasulullah Saw sangat memerhatikan masalah ini dan bersabda, “Haya’un [rasa malu] ada dua macam; rasa malu yang bersumber dari pemikiran rasional dan rasa malu yang muncul dari kebodohan manusia. Rasa malu yang bersifat rasional pada dasarnya adalah ilmu. Sementara rasa malu yang berasal dari kebodohan adalah jahl.” (Kafi, jilid 2, hal 106)
Ketika seorang merasa malu yang sumbernya adalah rasio atau akal pikiran , maka itu sebuah kesempurnaan yang dituntut Islam. Hal itu seperti seseorang yang malu untuk melakukan perbuatan dosa dan memiliki rasa malu di hadapan orang yang dihormati. Sifat malu yang semacam ini merupakan ilmu dan itu menunjukkan sikap yang bijak.
Sementara rasa malu yang bersumber dari kebodohan seperti seseorang yang malu dan tidak mau bertanya terkait hal-hal yang tidak diketahuinya. Seseorang malu untuk belajar dan beribadah. Rasa malu ini jelas tidak memiliki argumentasi ilmu, tapi berlandaskan kebodohan.
Sifat rasa malu yang bersumber dari kebodohan memiliki esensi negatif dan menunjukkan kelemahan jiwa. Islam mencela sifat yang seperti ini dan tidak mencantumkannya dalam keutamaan akhlak. Karena sifat malu yang semacam ini justru mencegah kemajuan manusia dan penyebab ketertinggalan manusia di pelbagai bidang kehidupan.
Lalu bagaimana seorang muslim menempatkan rasa malunya?
Berikut ini penjelasan dari ayat dan hadis tentang beberapa kondisi dimana seorang muslim harus mengedepankan rasa malunya dan kondisi dimana rasa malu menjadi hal yang buruk.
Sifat malu yang tepat
1. Rasa malu kepada pada Allah dan para malaikat
Agama Islam memerintahkan manusia untuk senantiasa menjaga rasa malu kepada Allah, malaikat dan para wali-Nya. Rasa malu dalam hal ini sebenarnya lebih luas dari hanya sekedar hubungan biasa. Karena rasa malu dalam bentuk ini hanya bisa ditemukan dengan cara menciptakan sistem nilai yang kuat, memmiliki tujuan yang tinggi dan bermakna dalam kehidupan. Sekaitan dengan hal ini, Rasulullah Saw bersabda, “Malulah kepada Allah sebagaimana kamu merasa malu kepada tetanggamu yang baik. Karena malu kepada Allah akan meningkatkan keyakinan.” (Bihar al-Anwar, jilid 75, hal 200)
2. Rasa malu kepada diri sendiri
Manusia membutuhkan kesendirian untuk mencapai kesempurnaan. Oleh karenanya, Allah Swt memerintahkan shalat malam agar manusia dapat memanfaatkan kesendiriaannya untuk bermunajat dan menjalin hubungan lebih personal dengan Allah. Tapi yang lebih penting lagi, agar kesendirian ini dapat dilalui dengan aman, maka manusia membutuhkan rasa malu dalam dirinya terhadap dirinya sendiri. Atau dengan kata lain, rasa malu akan menjadi pengawas bagi dirinya.
Bila kondisi ini tercipta pada seseorang dan menganggap dirinya sebagai pengawas dirinya sendiri, maka ia akan menjauhi banyak perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan. Bila seseorang menghormati dirinya sendiri maka kondisinya di tempat sepi dan hanya ada dirinya dengan kondisinya di tempat umum tidak akan ada bedanya. Artinya, rasa malu akan menjadi penjaganya baik dalam kesendirian maupun bersama orang lain. (Shojai, Mohammad Sadegh, Dar Amadi Bar Ravanshenashi Tanzim-e Raftar Ba Ruikard-e Eslami, hal 307-315).
Dalam hal ini Imam Ali as berkata:
“Rasa malu yang paling indah adalah malu kepada diri sendiri.” (Laitsi Wasithi, Ali, ‘Uyun al-Hukm wa al-Mawaizh, hal 121)
“Rasa malu kepada diri sendiri merupakan hasil dari keimanan.” (Laitsi Wasithi, Ali, ‘Uyun al-Hukm wa al-Mawaizh, hal 231)
3. Rasa malu untuk meminta bantuan orang lain
Imam Shadiq as berkata, “Meminta bantuan kepada orang lain menyebabkan hilangnya kemuliaan dan rasa malu.” (Thabarsi, Ali bin Hasan, Misykat al-Anwar Fi Ghurar al-Akhbar, hal 184)
4. Rasa malu melakukan keburukan
Imam Shadiq as berkata, “Seseorang yang tidak malu melakukan keburukan, tidak mau meninggal perbuatan buruk dan tidak takut pada Allah saat dalam kesendirian, maka tidak ada kebaikan padanya.” (Arbili, Ali bin Isa, Kasyful Ghummah Fi Ma’rifatil Aimmah, jilid 2, hal 205)
5. Menjaga rasa malu dalam berhubungan dengan bukan mahram
Dalam al-Quran disebutkan tentang putri Nabi Syu’aib:
Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami". Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata: "Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu". (QS. Qishash: 25)
Di dalam ayat ini ada isyarat bahwa wanita tidak dilarang untuk berkecimpung dalam kehidupan sosial dan bertransaksi dengan orang lain. Namun syaratnya adalah aktivitas ini harus disertai dengan tata krama dan rasa malu. Hal itu dilakukan oleh putri Nabi Syua’aib yang diutus ayahnya untuk mengurusi pekerjaan penting dan sang putri pun mengerjakan perintah ayahnya dengan tetap menjaga nilai-nilai rasa malu dan kehormatan. (Modarresi, Sayid Mohammad Taghi, Tafsir Hidayat, jilid 9, hal 282)
Sifat malu yang buruk
1. Malu melakukan pekerjaan baik
Rasulullah Saw bersabda, “Jangan melakukan satu amalan pun karena riya dan untuk memamerkan diri, tapi jangan ditinggalkan amalan itu karena malu.” (Ibnu Syu’bah Harrani, Hasan bin Ali, Tuhafful ‘Uqul ‘An Ali ar-Rasul Saw, hal 58)
2. Malu belajar
Imam Ali as berkata, “Jangan sampai seseorang malu untuk mempelajari sesuatu yang tidak diketahuinya.” (Nahjul Balaghah, Hikmah 82, hal 482)
3. Malu mengaku tidak tahu
Imam Ali as berkata, “Seseorang jangan malu untuk mengatakan ‘saya tidak tahu’ ketika ditanya tentang sesuatu yang tidak diketahuinya.” (Nahjul Balaghah, Hikmah 82, hal 482)
4. Malu melayani tamu
Imam Ali as berkata, “Tiga perkara yang tidak boleh malu mengerjakannya; melayani tamu, bangkit dari tempat duduk untuk menghormati ayah dan guru, menuntut hak diri sendiri meskipun itu kecil.” (‘Uyun al-Hukm wa al-Mawaizh, hal 212)
5. Malu mengatakan kebenaran
Imam Ali as berkata, “Orang yang malu mengatakan yang benar adalah tolol.” (Tamimi Amadi, Abdul Wahid bin Mohammad, Ghurarul Hikam wa Durarul Kalam, hal 628)
6. Malu memberi sedikit
Imam Ali as berkata, “Jangan malu memberi sesuatu [harta] yang sedikit karena mengecewakan itu lebih sedikit lagi darinya.” (Nahjul Balaghah, Hikmah 67, hal 479)
7. Malu menagih harta yang halal
Imam Shadiq as berkata, “Orang yang tidak malu menagih harta miliknya yang halal, maka biaya hidupnya akan menjadi ringan dan Allah Swt akan memberikan nikmat-Nya kepada keluarganya.” (Shaduq, Mohammad bin Ali, Man La Yahdhurul Fakih, jilid 4, hal 410)
8. Malu meminta kepada Allah
Imam Shadiq as berkata, “Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai Allah selain meminta sesuatu kepada-Nya. Untuk itu jangan sampai kalian malu meminta rahmat Allah, meskipun permintaan itu hanya sekedar meminta tali sepatu.” (Kafi, jilid 4, hal 20)
Kesimpulan
Rasa malu yang dikategorikan sistem nilai Islam bila berasal dari ilmu. Bila setiap orang memiliki rasa malu yang rasional, maka kehidupan individu dan sosial manusia akan lebih baik dari yang ada. Sebaliknya, bila batas-batas rasa malu telah diabaikan, maka akan memunculkan pelbagai masalah pribadi dan sosial dalam kehidupan manusia.
Sumber : https://parstoday.com/id/news/indonesia-i15139-bagaimana_seorang_muslim_menempatkan_rasa_malu
0 komentar:
Posting Komentar